Mungkin hampir setiap hari saya kepikiran hal-hal kecil berkaitan dengan hidup ramah lingkungan. Kadang-kadang agak stres juga, saya suka mikir, kenapa mesti mikirin segininya banget. Hahaha drama sama diri sendiri. Sampai saat ini saya belum bisa zero waste, dan kayanya agak susah sih. I truly adore people who live zero waste life, but I’m not aiming for that. Saya tahu diri saya sendiri, dan kalau saya aim untuk itu, yang ada saya akan tambah stres dan malahan bisa-bisa tidak bergerak/tidak melakukan usaha apapun untuk hidup lebih hijau. Alias overwhelmed.
Naahhhh! Saya mau cerita soal usaha saya ngompos dan usaha lainnya untuk hidup lebih hijau yang baru-baru ini dilakukan. Siapa tahu kamu jadi pengin coba juga!
Ngompos Sampah Dapur/Sampah Organik
Sebetulnya sudah lama banget pengin ngompos sendiri. Tapi karena sering jalan-jalan dan tidak tinggal di satu tempat, hal sederhana ini jadi hal yang cukup rumit bagi saya. Huehehe.
Karena pandemik covid-19, saya dan suami memutuskan tinggal di Yogya (sebelumnya kami sudah pernah tinggal di Yogya selama 2,5 tahun di 2013-2016 dan beberapa kali on and off di Yogya). Kali ini kami menyewa tempat untuk dua tahun. Doakan ya, rencananya kami mau cari rumah/tanah di Yogya suatu hari nanti.
Saya menimbang-nimbang—lama sekali, lebih baik bikin lubang biopori atau lebih baik ngompos ya? Setelah berbulan-bulan galau haha, akhirnya pada awal Agustus memutuskan untuk ngompos saja.
Beberapa hal yang membuat saya memutuskan untuk mengompos adalah:
- Saya kurang tahu angka pastinya, tapi sering banget baca artikel yang mengutip bahwa sampah rumah tangga adalah sampah terbesar yang berakhir di TPA (tempat pembuangan akhir). Jadi, saya mau ikut berkontribusi mengurangi sampah yang berakhir di TPA. Selama ini kontribusi saya cuma berusaha sebaiknya untuk selalu menghabiskan makanan yang saya ambil.
- Di rumah yang saya tinggali sekarang, saya biasanya gali-gali taman/halaman untuk mengubur sisa buah atau sayuran, tapi saya sudah kehabisan lahan.
Kendala yang saya hadapi:
- Awalnya bingung mau buat lubang biopori atau komposter dan akhirnya diputuskan bikin komposter/ngompos. Agak lama juga memutuskan mau pakai apa untuk wadah ngomposnya karena saya mau mencegah beli sesuatu lalu tidak terpakai atau kurang efektif dan sebagainya. Dan sebetulnya saya agak malas pakai ember plastik.
- Saya menggunakan ember biasa, dilubangi di bagian bawah. Saya letakkan ember itu di taman depan dekat garasi. Eh, ternyata tikus nyium bau-bau makanan dan dia ganas banget hahahaa. Rumput-rumput gajah mini seputaran/sekeliling si ember ini habis diberantakin si tikus karena dia berusaha cari sumber (sisa) makanan. Setelah saya beresin tanah dan rumputnya, saya jadi taruh si ember di garasi, tapi masih dekat dengan taman. Sejauh ini sih aman.
- Suami saya kadang suka malas untuk mencacah sampah organik, untungnya saat ini dia sudah lebih semangat hehe. Saat ini di ember plastik tempat sampah organik kami, ada satu mangga utuh (kata suami mangga busuk ketika kami tinggal ke Jakarta) dan satu ubi utuh. Saya pasrah aja sambil ketawa-ketawa ketika sedang mengaduk komposter dan kebetulan ketemu si ubi atau si mangga. Saya hanya ngebatin, ini kapan komposnya bisa dipanen hahaha.
- Mbak Tina, yang selalu bantu kami untuk beberes rumah, juga ikut aktif untuk membuang sampah organik ke ember ini. Horeee! Salah saya adalah saya tidak info dia dengan baik untuk mencacah sampah sebelum buang ke ember hehehe. Dia pernah memasukkan batang dan daun tanaman, dan masih bonggolan gede-gede gitu hehe. Jadi, saya mesti info lagi ke Mbak Tina supaya dia tidak lupa mencacah sampah sebelum dimasukkan ke ember.
Langkah berikutnya yang akan saya lakukan:
- Pesan clay composter dan serbuk dekomposer. Saya tahu saya akan perlu lebih dari satu ember komposter, paling tidak dua ember. Setelah berjalan lebih dari 2,5 bulan, dan ember saya hampir penuh, saya tahu bahwa saya perlu 3 wadah untuk kompos. Untuk rotasi sambil menunggu kompos panen. Karena saya sebetulnya malas pakai plastik, saya memutuskan untuk beli komposter gerabah. Semoga tahan lama ya. Serbuk dekomposer bisa mempercepat proses komposnya juga.
- Mau cari cacing kali yaaa. Sepertinya cacing-cacing akan bisa bikin proses ngomposnya lebih cepat. Saya belum riset lagi soal ini.
Untuk teman-teman yang sudah lama kepikiran mau ngompos tapi maju mundur (alias gak tahu mesti mulai darimana), beberapa informasi tambahan di bawah ini semoga bikin makin yakin untuk memulai:
- Wadah ngomposnya pakai apa?
Sustaination menjual Komposter Ember yang menurut saya ok banget. Saya tidak pakai itu karena sudah terlanjur bikin ember kreasi sendiri haha, tapi nanti di masa yang akan datang, kalau perlu ember tambahan atau kalau ember saya rusak, akan mempertimbangkan ember ini.
Selain embernya praktis, pembelian ember ini akan disertai, petunjuk cara mengompos, 1 botol bioaktivator siap pakai ukuran 1 liter, 1 kali workshop online mengompos dan pembinaan selama 2 minggu. Gak main-main banget usaha Sustaination untuk menyemangati perjalanan usaha hidup minim sampah kita ya. I adore them!
- Gak mau pakai wadah plastik, bisa gak yaa?
Sudah pernah dengar tentang clay composter (komposter gerabah)? Coba kepoin akun Instagramnya Mbak Intan, dia jualan clay composter, serbuk dekomposer, dan juga membuka kelas online untuk pelatihan ngompos. Btw, seperti yang saya sampaikan di atas, saya saat ini pakai ember plastik kreasi sendiri, dan sudah penuh hahaha. Lagi nunggu PO clay composter dari Mbak Intan yang mungkin datang dalam 1-2 minggu lagi.
- Ok, tapi umm.. gimana cara ngompos? Kalau bau gimana? Kalau ada belatung gimana? Kalau ini kalau itu?
I’ve been there haha. Saya dulu galau banget memutuskan antara lubang biopori atau pakai komposter, tapi berhubung rumah ini nyewa dan agak males untuk bikin lubang biopori hehehe, jadi saya pakai ember komposter saja.
Selain kepo-kepo di Youtube, banyakkkk banget yang bahas soal ngompos btw, saya juga suka kepoin dua akun Instagram ini: Mbak Dini (@dkwardhani), sila langsung dibaca postingannya yang menguatkan saya haha: ini dan ini. Yang kedua adalah Kebun Kumara (@kebunkumara), postingannya yang ini dan coba check hastag #KomposKumara.
Btw, yaaaa saya mengalami pas buka ember komposter, ada banyak belatung hahahaha. Tapi ini salah saya juga karena sampah hijau ada di atas, tidak ditutup dengan sampah cokelat (daun kering, ranting, sobekan kardus cokelat tanpa print, ampas kopi). Dan saat ini kondisi kompos saya terlalu basah, artinya kurang elemen cokelat. Sekarang sedikit-sedikit ditambahkan elemen cokelat sambil diaduk supaya ada udara untuk komposnya. Elemen hijau 30% dan elemen cokelat 70%.
- Ok. Tapi … tapi …
Masih ada yang bingung-bingung? Kirim pesan ke saya via Instagram (@hellofirsta) atau bisa juga komen di sini, siapa tahu saya yang pemula ini bisa membantu menjawab beberapa hal. Hehehe.
Pilah dan Bersihkan Wadah Plastik
Pemulung yang suka lewat depan rumah punya ketertarikan dengan beberapa wadah plastik terutama plastik botolan, wadah plastik bekas ice cream, atau bekas yogurt, dan lain-lainnya, karena sepertinya bisa dijual lagi. Wadah-wadah ini saya cuci bersih, keringkan dan masukan ke dalam satu wadah sendiri supaya bapak pemulung bisa langsung ambil tanpa berantakin tempat sampah di depan tapi hahaha dia kadang masih suka berantakin (hiks!).
Pilah dan Bersihkan Sampah Plastik Multi-layered
Saya baru sekitar 3-4 bulan yang lalu dengar soal Rebricks.ID. Mereka mengubah sampah plastik multi-layered/sachet jadi bahan bangunan. Saat ini mereka buat paving block. Saya baru mulai memilah dan mengumpulkan dari awal September, nanti kalau sudah agak banyak, bisa langsung kirim ke Rebricks.ID. Senang sekali bisa mengurangi sedikit lagi sampah yang pergi ke TPA. Langsung kepoin Instagram mereka untuk tahu jenis sampah plastik apa saja yang mereka terima.
PENTING! 🙂
Dengan adanya solusi untuk mencegah banyaknya sampah berakhir di TPA, bukan berarti kita jadi konsumsi seenaknya/konsumsi berlebihan. Saya percaya bahwa langkah awal adalah kita harus mengkonsumsi dengan sadar dan secukupnya. Sebisa mungkin 6Rs ini diterapkan: rethink, refuse, reduce, reuse, repair, recycle. Untuk setiap konsumsi yang akan kita lakukan (terutama yang menghasilkan sampah), coba ditelaah dimulai dari rethink dulu, dan selanjutnya. Gpp banget kalau bocor sana sini dan kadang pasrah masih menghasilkan sampah, yang penting tetap usaha ya.
Segitu dulu ya cerita-cerita soal usaha hidup lebih ramah lingkungan. Tidak peduli seberapa besar atau kecil usaha kita, setiap kontribusi pasti bisa membuat dunia menjadi lebih baik. 🙂
2 Comments
Hai Firsta, ulasannya insightful sekali. Meski awalnya kami ini tim biopori, tapi kayaknya sudah kudu nambah ke komposter karena lobang bioporinya udah penuh wkwk. Sebenernya suka banget sama biopori, kalau semua sampahnya sudah membusuk, dia bisa langsung jadi pupuk, biasanya Mas Gepeng yang akan aduk-aduk terus dikemas jadi pupuk siap pakai. Meski baunya uwek banget, eh cacingnya banyak dan dia beneran pupuk 100% organik. Happy sekali.
Btw kalau komposter pakai wadah, ini tuh yang pake ada krannya itu bukan sih? Krannya buat ngeluarin air gitu ya? Terus airnya buat apa? Kalau kamu sendiri, hasil komposter sudah dipakai buat apa aja Firsta?
Halo Justin Larissa, iya ada yang dengan kran, cairannya bisa jadi pupuk cair. Bisa disiramkan ke tanah di sekitar tanaman. Saya sendiri tidak pakai yang ada kran-nya. Saya pakai clay composter sementara ini, hasil kompos-nya saya campurkan ke tanah di halaman. Intinya seperti ngasih pupuk gitu ke tanaman gitu hehe. Yang agak susah sih kalau ada keras, seperti biji mangga, kulit manggis, biji alpukat, etc, susah terurai-nya. Pernah aku campur ke tanah, ehhh si biji mangga-nya tumbuh bertunas. Aku cabut dan cacah-cacah sedikit. Nanti kalau ada pindah rumah, rencananya aku mau buat lubang biopori juga beberapa. Oh ya, hasil dari komposterku biasanya gak berbau sih, ya kaya bau tanah aja. Mungkin kalau biopori beda ya?